MATERI QUIZ ZIDNA ILMA (QUIZI) PEKAN 5

firanda.com-sirah-nabi-15-Kisah pertemuan Nabi ﷺ dengan pendeta Buhairā

Ini kisah yang sangat penting karena sering dijadikan dalil oleh orang-orang Nashara untuk menjatuhkan Nabi ﷺ. Abū Thālib paman Nabi ﷺ sangat mencintai Nabi seakan-akan anaknya sendiri. Sampai-sampai kemana dia pergi Nabi pasti diajak, bahkan dalam perjalanan yang sangat jauh yang mana ketika itu beliau masih berumur belasan tahun. Pada suatu perjalanan ke negeri Syam untuk berdagang, Nabi ﷺ bertemu dengan seorang pendeta bernama Buhairā. Telah kita ketahui bersama bahwa saat itu negeri Syam dikuasai oleh orang-orang Romawi yang beragama Nasrani. Di sanalah para pendeta biasa berkumpul.

Dalam sebuah riwayat dari Abū Mūsa Al-‘Asy’ariy radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, dia berkata: Abū Thālib pergi ke negeri Syam membawa Nabi ﷺ beserta sejumlah orang yang sudah tua dari kalangan Quraisy untuk berdagang. Saat mereka sampai di tempat yang dekat dengan Buhairā, mereka berhenti untuk beristirahat dan unta-unta mereka diikatkan. Tak lama kemudian, Buhaira sang pendeta keluar menemui mereka, padahal sebelumnya para pendeta tidak pernah keluar menemui meskipun mereka sering lewat di tempat tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya Nabi ﷺ dalam rombongan tersebut. Saat rombongan Abu Thalib sedang sibuk membereskan unta, sang rahib-pun masuk di sela-sela mereka, lalu sang rahib bertemu dengan Nabi dan memegang tangan Beliau ﷺ sembari berkata: “Inilah pemimpin seluruh alam semesta, ini adalah Rasul Allāh pemimpin seluruh alam semesta. Allāh mengutus dia sebagai rahmat semesta alam.” Orang-orang Quraisy kemudian berkata kepada sang rahib: “Bagaimana engkau tahu hal demikian, mengapa engkau mengatakan anak kecil ini akan menjadi pemimpin alam semesta?” Maka sang rahib berkata: “Tatkala kalian pergi menuju ke sini, tidak ada satu pohon dan batu pun kecuali sujud kepadanya. Dan saya mengetahui bahwa dia seorang Nabi karena adanya tanda kenabian di bawah pundaknya, semacam tahi lalat besar dan padanya ada rambut.” Kemudian sang rahib pulang dan membuat makanan untuk mereka. Mereka melihat sebuah bayangan di bawah pohon yang bisa dijadikan tempat bernaung. Kemudian Nabi ingin istirahat di bawah bayangan tersebut, tapi orang-orang Quraisy sudah mendahului duduk di tempat tersebut sehingga Nabi duduk di sisi yang lain. Tiba-tiba bayangan pohon berpindah kepada Nabi dan menanunginya. Pendeta rahib Buhairā berkata: “Jangan engkau bawa Muhammad ke Romawi, berhati-hatilah karena apabila mereka mengetahuinya mereka akan membunuhnya. Karena mereka mengetahui akan keluar seorang Nabi baru.” Tak lama kemudian tibalah 7 orang pasukan Romawi. Mereka ditemui oleh sang pendeta dan bertanya: “Apa yang membuat kalian ke sini?” Mereka menjawab: “Kami mendengar bahwasanya akan ada seorang Nabi yang muncul di bulan ini dan dia akan melewati jalan ini, karena itulah kami bermaksud mencari Nabi tersebut. Setiap sudut jalan telah diutus orang untuk mencari Nabi tersebut.” Pendeta Buhaira berkata kepada pasukan: “Jika Allāh mengendaki sesuatu, adakah orang yang dapat menolaknnya? Maka berbaiatlah kepada Nabi tersebut jika ia telah muncul.”

Di akhir hadits dikatakan oleh Abū Mūsa Al-‘Asy’ariy, Sang pendeta terus mengingatkan agar tidak membawa Muhammad ke negeri Romawi. Hal ini menyebabkan Abū Thālib memulangkan Nabi ﷺ bersama dengan Abū Bakr dan Bilāl, dikirim pulang ke Mekkah. (HR At-Tirmidzi no 3948)

Para ulama berbeda pendapat akan keshahīhan hadits di atas, karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama ‘Abdurrahman bin Ghazwān. Para ulama menilainya bahwasanya dia memiliki riwayat yang munkar.

Hadits ini dikatakan At-Tirmidzi dalam Sunannya sebagai hadits yang hasan gharīb dan kami tidak tahu dari jalur ini. Hadits ini juga dinilai shahih oleh Al-Hakim, Ibnu Hajar ( al-Ishobah 1/476), Ibnu Katsir (Al-Fushul fi siroh Ar-Rasul), Al-Albani (Difa’ ‘an al-Hadits an-Nabawi wa As-Siroh 62-72).

Akan tetapi Imam Adz-Dzahabi (ulama besar Asy-Syāfi’ī, ahli hadits dan jarh wa ta’dil) membantah al-Hakim dan mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang palsu, dengan membawakan banyak dalil yang menunjukkan kepalsuan hadits ini. Beliau membantah mengapa pada akhir hadits disebutkan bahwasanya Abū Thālib mengirim Nabi pulang ke Mekkah dengan ditemani oleh Abū Bakr dan Bilāl. Padahal pada saat itu Bilāl belum lahir sedangkan Abū Bakr 2,5 tahun lebih muda dari Nabi. Ini adalah lafal yang tidak benar dan diingkari oleh para ulama. Lalu bagaimana bayangan pohon tersebut bisa berpindah. Padahal jika bayangan berpindah itu artinya matahari juga harus berpindah. Demikian juga Abū Thālib mati dalam keadaan kafir. Seandainya hadits ini benar lalu mengapa Rasūlullāh ﷺ tidak pernah berkata kepada pamannya “Wahai paman, ingatkah kejadian saat aku berumur 12 tahun? Ingatkah perkataan pendeta Buhairā?”

Oleh karena itu, kisah ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menshahīhkan dan sebagian ulama mendha’īfkan. Diantaranya yang mendha’īfkan yaitu Adz-Adz-Dzahabi rahimahullāh Ta’āla.

Al-Hafiz Ibnu Hajar (demikian juga Syaikh Al-Albani) mengatakan dari sisi sanad dia shahīh kecuali lafazh yang terakhir. Namun anehnya, hadits yang diperselisihkan ini dijadikan dalil oleh orang-orang Nasrani dengan mengatakan bahwa Muhammad itu tidak mendapat wahyu dari Allāh, akan tetapi diajari oleh pendeta Buhairā saat mereka bertemu.

Berkenaan dengan asumsi mereka, hal ini bisa dibantah dengan beberapa alasan:

⑴ Kisah sanad hadits ini diperselisihkan, sehingga orang-orang Nashrani tidak pantas berdalil dengan kisah ini.

⑵ Jika memang benar mereka (kaum Nasrani) meyakini bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengambil ilmu dari Buhairā, lantas mengapa mereka tidak mau beriman kepada beliau? Bukankah ajarannya dibawa oleh pendeta Nashrani?!

⑶ Pertemuan Nabi Muhammad ﷺ dengan pendeta Buhairā hanya sebentar (sekedar makan siang) dan Nabi Muhammad berbahasa Arab sedangkan pendeta Buhairā berbahasa lain. Bagaimana mungkin dalam waktu sesingkat itu Buhaira mampu mengajari Al-Qurān yang berisi lebih dari 6000 ayat.

Menurut sebagian mereka, pendeta Buhairā senantiasa mengirimkan surat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Maka kita bantah dengan mengatakan bahwa ayat Al-Qurān turun berdasarkan kejadian-kejadian, artinya sang pendeta harus aktif segera mengirim suratnya karena ayat Al-Qurān langsung turun segera saat itu juga. Misalnya ketika perang Uhud, turun sebuah ayat, padahal komunikasi di zaman itu masih serba lama, paling cepat dengan kurir berkuda. Perhatikan pula bahwasanya isi Al-Qurān sendiri banyak bertentangan dengan isi Injil yang telah dirubah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *